DPR RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan menjadi Undang-undang (UU), Selasa (4/6). Pengambilan keputusan itu dilakukan dalam rapat paripurna DPR RI di gedung Nusantara II MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta. Ketua DPR Puan Maharani memimpin rapat tersebut.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga mengatakan, RUU ini merupakan wujud kehadiran negara dalam meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak sebagai sumber daya manusia dan generasi penerus bangsa yang unggul di masa depan.
Salah satu yang disorot dari UU KIA adalah terkait hak cuti melahirkan bagi ibu bekerja. Disebutkan bahwa para ibu yang bekerja berhak mendapatkan cuti melahirkan hingga enam bulan.
Berikut ini beberapa poin penting yang perlu dipahami dari UU KIA pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan.
Perubahan Fokus
Ilustrasi/Foto: Freepik.com/jcomp
Jika diperhatikan, ada perubahan judul dari UU KIA. Awalnya, Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak. Kini, berganti menjadi Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan.
Dilansir dari laman KemenPPPA, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Diah Pitaloka menjelaskan, awalnya RUU KIA pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan mengatur mengenai kesejahteraan ibu dan anak secara umum.
Namun, seiring dengan pembahasan intensif antara Komisi VIII DPR RI dengan Pemerintah, disepakati fokus pengaturannya menjadi kesejahteraan ibu dan anak pada fase seribu hari pertama kehidupan, yaitu sejak terbentuknya janin dalam kandungan hingga berusia 2 (dua) tahun.
Ketentuan Cuti 6 Bulan bagi Ibu Pekerja yang Melahirkan
Ilustrasi/Foto: Freepik.com/Yanalya
Salah satu yang disorot masyarakat dari UU KIA pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan adalah terkait hak cuti bagi ibu pekerja yang melahirkan.
Dilansir dari detikNews, UU itu mengatur ibu bekerja berhak mendapat cuti melahirkan paling singkat 3 bulan pertama dan paling lama 3 bulan berikutnya jika terdapat kondisi khusus.
Hal itu diatur dalam Pasal 4 ayat 3 UU KIA. Pasal itu berbunyi:
Ayat (3)
Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), setiap Ibu yang bekerja berhak mendapatkan:
a. cuti melahirkan dengan ketentuan:
1. paling singkat 3 (tiga) bulan pertama; dan
2. paling lama 3 (tiga) bulan berikutnya jika terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
Ibu yang Cuti Melahirkan Tetap Mendapatkan Haknya
Ilustrasi/Foto: Freepik
Selain itu, ibu pekerja yang mengambil cuti melahirkan tidak dapat diberhentikan dari pekerjaannya dan tetap memperoleh haknya. Termasuk mendapat upah penuh untuk 3 bulan pertama dan bulan keempat. Sedangkan untuk bulan kelima dan keenam, ibu yang cuti melahirkan akan mendapatkan 75 persen dari upah.
Pasal 5
(1) Setiap Ibu yang melaksanakan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b tidak dapat diberhentikan dari pekerjaannya dan tetap memperoleh haknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
(2) Setiap Ibu yang melaksanakan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a berhak mendapatkan upah:
a. secara penuh untuk 3 (tiga) bulan pertama;
b. secara penuh untuk bulan keempat; dan
c. 75% (tujuh puluh lima persen) dari upah untuk bulan kelima dan bulan keenam.
Cuti Suami untuk Dampingi Istri
Ilustrasi/Foto: pexels.com/Yan Krukau
Melalui UU KIA pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan, diatur pula soal cuti suami untuk ibu yang melahirkan.
Adapun cuti bagi suami untuk mendampingi istri saat melakukan proses persalinan yakni selama 2 hari dan dapat diberikan paling lama 3 hari berikutnya sesuai dengan kesepakatan. Sedangkan bagi suami yang mendampingi istrinya yang keguguran, berhak mendapatkan cuti selama 2 hari.
KemenPPPA Singgung Tanggung Jawab Bersama antara Ayah dan Ibu dalam Mengasuh Anak
Ilustrasi/Foto: Pexels/Danik Prihodko
Menteri PPPA Bintang Puspayoga menjelaskan, secara substansial RUU ini menjamin hak-hak anak pada fase seribu hari pertama kehidupan, sekaligus menetapkan kewajiban ayah, ibu, dan keluarga.
Menurutnya, kesejahteraan ibu dan anak merupakan tanggung jawab bersama. Selain itu, seorang ibu juga memerlukan ruang untuk tetap berdaya selama anak dalam fase seribu hari pertama kehidupan.
“Oleh karenanya, suami wajib memberikan kesehatan, gizi, dukungan pemberian air susu ibu, dan memastikan istri dan anak mendapatkan pelayanan kesehatan dan gizi. Meringankan beban ibu dan terciptanya lingkungan yang ramah ibu dan anak, baik di keluarga, di tempat kerja, maupun di ruang publik merupakan prasyarat penting kesejahteraan ibu dan anak pada fase seribu hari pertama kehidupan,” tegas Bintang.
***
Ingin jadi salah satu pembaca yang bisa ikutan beragam event seru di Mirafestivalberlin? Yuk gabung ke komunitas pembaca Mirafestivalberlin, Mirafestivalberlin.com. Caranya DAFTAR DI SINI!
(naq/naq)